Just another free Blogger theme

Sabtu, 18 Maret 2023

       Informasi adalah hal yang sangat substansial dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini. Proses transformasi dan demokrasi tidak akan berjalan baik tanpa adanya sumber dan publikasi informasi. 

      Begitu pula dengan konteks beragama, informasi yang disuguhkan media berperan strategis. Melalui media massa, masyarakat mengetahui dan melakukan kontrol atas apa yang telah dilakukan pemerintah. Demikian pula pemerintah dapat mengetahui kehendak umum dan menginformasikan kebijakannya melalui media. Media merupakan sarana a dialy election dalam demokratis. 

        Namun harus diakui, dalam penyajiannya informasi dapat berakibat negatif, yang dalam jangka panjang menimbulkan dampak negatif pada masyarakat jika tidak dipertimbangkan penyajiannya, selalu dievaluasi dan dikemas kembali dalam sesuai norma jurnalistik dan nilai-nilai kemasyarakatan. Penyajian berita yang tidak memperhatikan kedua hal itu bukan tidak mungkin akan kontra produktif dengan upaya perlindungan HAM dan proses demokrasi. 

      Salah satu program informasi yang banyak disajikan media (khususnya TV) adalah program informasi kriminalitas. Hampir semua stasiun TV memiliki program informasi kriminalitas atau paling tidak memasukan dalam berita regular. Setiap hari masyarakat disuguhi berbagai peristiwa kriminalitas di seluruh pelosok negeri dari pencurian sampai kanibalisme. Materi program kriminalitas di TV umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu peristiwa kriminal, peristiwa penangkapan pelaku perbuatan kriminal dan kupasan sebuah peristiwa kriminal. 

     Sampai titik ini, pemberitaan kriminal dapat dianggap wajar. Paling tidak pemberitaan ini mencapai dua hal, menangkap dan membongkar peristiwa kriminal, dan masyarakat mengetahui terjadinya suatu peristiwa kriminal dengan berbagai polanya sehingga dapat berhati-hati untuk menghindarkan suatu tindakan kriminal. 

        Masalah pemberitaan kriminal akan segera timbul bila menyaksikan materi dan visualisasinya. Ada dua macam pola utama dalam visualisasi pemberitaan kriminal, yaitu pertama, penyajian suatu peristiwa kriminal yang baru saja terjadi dengan menampilkan kondisi korban dan tempat kejadian. Keterangan dihimpun dari korban, saksi dan pihak kepolisian. Penayangan wawancara atas korban sering dalam kondisi masih shock, bahkan dalam keadaan luka-luka. Pada visualisasinya ini dilihat dengan jelas pada raut muka korban dan saksi yang ditampilkan tanpa ada “pengaburan” gambar. 

     Pola kedua, visualisasi peristiwa penangkapan pelaku tindak kriminal, baik tertangkap tangan maupun penangkapan setelah kejadian. Bahkan juga sering ditayangkan bagaimana proses penangkapan yang kadang diwarnai dengan tembakan peringatan. Visualisasi yang sering ditayangkan dalam peristiwa ini adalah seorang tersangka dalam keadaan “babak belur”, bahkan ada kalanya terlihat menempeleng dan menendang seorang tersangka. Tiap orang juga dapat mengenali tersangka (dalam prinsip hukum harus dianggap belum bersalah). Kecuali dia menundukan dan menghalangi wajahnya. 

        Bila dilihat tayangan berita kriminal pada pola pertama, suatu kejadian dan korbannya, menimbulkan rasa kasihan datas korban dan kebencian bagi pelaku kriminalnya. Bahkan, muncul rasa tidak percaya seseorang dapat melakukan tindakan seperti itu, apalagi jika perbuatan itu kejam dan tidak berperi kemanusiaan, seperti dengan kekerasan, kanibal, dan terlebih pemerkosaan atas anak kecil oleh bapaknya sendiri. 

        Rasa iba muncul diiringi tuntutan hukuman yang sangat berat bagi pelakunya. Bahkan, muncul pembenaran kekerasan dilakukan atas tersangka jika tertangkap. Pada titik ini menyentuh permasalahan HAM. 

    Pola kedua sering menyajikan kekerasan dan kekejaman atas tersangka pelaku kriminal. Melihat pola ini sering timbul gugatan apakah proses penanganan atas tersangka pelaku kriminal harus diperlakukan kasar bahkan kejam? 

        Perasaan kemanusiaan dan pengakuan adanya HAM dan aturan kembali terusik saat menyaksikannya. Tetapi mengapa tidak ada yang bersuara? Mungkin ahli hukum, pembela HAM bahkan masyarakat biasa, menggangapnya hal kecil atau sudah biasa menikmatinya sebagai bahan hiburan. 

    Dua pola visualisasi berita kriminal itu menimbulkan reaksi dan sikap bertentangan. Saat menyaksikan perlakuan kekerasan atas tersangka tindak kriminal, maka siapapun yang mengetahui HAM dan proses harus dijalankan akan keberatan dan menyatakan, kekerasan itu bertentangan dengan HAM dan hukum yang berlaku. 

        Namun, jika mengingat bagaimana aksen kriminalitas mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat yang sering kekejamannya diluar imajinasi terbersit pembenaran atas kekerasan terhadap tersangka dalam proses penangkapan dan penyidikan. Apalagi, jika banyak diantara itu adalah residivis. Banyaknya kriminalitas seolah memperlihatkan pelaku tindak kriminal tidak takut meski meyaksikan pemberitaan kriminalitas yang banyak dan gamblang. Dan tidak jera meski pernah di hukum karena tindak kriminal sebelumnya. 

        Namun, sebagai negara rasional modern yang mengakui, menghormati dan bertekad menegakan HAM, kita harus menyatakan, segala tindak kriminal harus diproses secara hukum. Proses hukum atas tindak kriminal adalah untuk memenuhi rasa keadilan, bukan balas dendam emosional, dan melindungi hak-hak masyarakat termasuk korban dan tersangka. Bagaimanapun, tersangka pelaku tindak kriminal tetap manusia yang memiliki hak-hak yang harus dilindungi, bahkan diupayakan untuk menyadari kesalahan dan hidup normal dalam masyarakat. 

        Berita kriminal memang dibutuhkan masyarakat. Namun, dalam penyajiannya penuh kekersan sangatlah tidak positif bagi perkembangan masyarakat. Pertama, akan terbentuk opini, kekerasan adalah sah bagi tersangka dan pelaku kriminal. Hal ini akan mendorong tindak kekerasan yang dilakukan masyarakat terhadap pelaku kriminal yang tertangkap tangan. Main hakim sendiri seolah pendapat pembenaran, padahal tersangka bukan pelaku kriminal pada wilayah luas. Hal itu perpotensi munculnya budaya kekerasan meyelesaikan masalah. 

        Kedua, pemberitaan kriminal yang terus-menerus dengan tingkat kekerasan yang tinggi akan menciptakan atmosfer ketakutan pada masyarakat. Tercipta suasana psikologis yang melekat bahwa situasi lingkungan masyarakat tidak aman, kejahatan bisa terjadi sewaktu-waktu dimana pun berada, dan siapa saja dapat menjadi pelaku tindak kejahatan. 

        Situasi ini amat menghawatirkan karena dapat menimbulkan masyarakat paranoid. Rasa kepercayaan hilang dan kekerasan menjadi senjata utama untuk menghilangkan ketakutan. Memang, masyarakat belum sampai pada kondisi demikian parah. Namun berbagai peristiwa kekerasan massa dan main hakim sendiri patut dijadikan peringatan dini untuk mawas diri agar tidak menjadi kian buruk. 

        Sudah saatnya insan pers mengevaluasi penyajian berita kriminalitas. Sudah saatnya pula ahli hukum dan HAM menyuarakan hal ini sebagai persoalan penting. Sebab, bila masyarakat sudah terlanjur paranoid, kekerasan akan merebak, HAM tidak berarti lagi karena selalu dilanggar, dan mampu mengobati paranoid adalah rasa aman. 

        Bila tidak dicegah dari awal, kondisi masyarakat paranoid berpotensi melahirkan otoritarian dengan dalih keamanan dan ketertiban yang memanfaatkan dan mengelola rasa takut masyarakat. Jika ini terjadi, perjuangan penegakan HAM dan demikrasi akan semakin sulit. 


DAFTAR PUSTAKA 

  • Ardianto, E, Erdinaya, LK 2007, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama Media: Bandung. 
  • Hartingsih 2014, Komunikasi Massa, Televisi dan Tayangan Kekerasan, PT. Grafindo Persada: Jakarta. 
  • Sarwono, SW 2010, Pengantar Psikologi Sosial, Rajawali Pers: Jakarta


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 komentar:

Posting Komentar